oleh

Revisi UU KPK, Bola di Tangan Tuan Presiden

Yogyakarta, LNN – Sebanyak 100 dosen dan mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dari berbagai fakultas menyatakan kekecewaannya terhadap ketidaktegasan Presiden Joko Widodo menghadapi pelemahan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi UU KPK. Protes disampaikan di gedung Rektorat kampus itu, Minggu (15/09/2019) pagi. Poster bertuliskan “Koruptor maunya KPK bubar”, “RUU KPK lemahkan KPK”, “KPK tak ada koruptor pesta”, dibentangkan.

Pegiat Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) UGM, Hasrul Halili mengatakan aksi itu mendesak agar pembahasan revisi UU KPK segera dihentikan karena cacat secara prosedural dan tidak transparan. Aksi itu, kata Hasrul merupakan bagian dari ekspresi dukungan terhadap KPK.

Akan halnya Pusat kajian hukum dan antikorupsi perguruan tinggi seluruh Indonesia menyurati Presiden Joko Widodo pada (11/09/2019) lalu. Melalui surat itu jaringan pusat kajian antikorupsi menyatakan menolak revisi UU KPK. “Jejaring pusat kajian hukum dan antikorupsi Perguruan Tinggi seluruh Indonesia menyampaikan keberatan terhadap perubahan UU KPK,” kata Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Andalas, Feri Amsari saat dihubungi Minggu, (15/09/2019).

Pusat kajian antikorupsi membuat surat itu di Yogyakarta pada 11 September 2019. Selain Pusako Andalas, sejumlah pusat kajian yang bergabung ialah Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, dan Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur dan

Dalam suratnya, pusat kajian mengingatkan pemberantasan korupsi merupakan amanat reformasi. Amanat itu termuat dalam Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN dan Tap MPR No VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan KKN.

Munculnya berbagai badan atau lembaga pemberantasan korupsi membuktikan bahwa korupsi menjadi perhatian yang sangat serius bangsa ini. Segala bentuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi sama saja dengan mengkhianati amanat reformasi. “Lahirnya KPK merupakan puncak berbagai upaya pemberantasan korupsi.”

Menurut Jaringan Pusat Kajian Hukum, kerja pemberantasan korupsi seringkali terhambat akibat adanya upaya-upaya pelemahan KPK. Salah satu adalah mendelegitimasi KPK melalui perubahan UU seperti saat ini. Upaya mengubah UU KPK telah berkali-kali digunakan untuk melumpuhkan kewenangan hingga mengganggu independensi KPK. Karena itu, melalui suratnya mereka menagih komitmen dan janji Presiden untuk tidak membiarkan upaya-upaya pelemahan terhadap KPK dengan menolak pembahasan RUU KPK yang diusulkan oleh DPR.

Hasrul mengatakan Presiden Jokowi seharusnya mengevaluasi pembahasan revisi UU KPK yang melemahkan gerakan anti-korupsi. “Presiden seharusnya tidak ragu-ragu menolak pelemahan KPK,” kata Hasrul. Reformasi menurut dia telah melahirkan KPK, lembaga anti rasuah yang tumbuh dan berkembang bersama demokrasi serta mendapat kepercayaan publik luas, bahkan menjadi rujukan internasional.

Upaya sistematis pelemahan KPK dan gerakan anti-korupsi agresif beberapa pekan terakhir. Pengajuan RUU KPK yang tidak mengikuti prosedur legislasi, proses pemilihan calon pimpinan KPK yang penuh kontroversi, bahkan teror kepada aktivis antikorupsi tidak saja melemahkan KPK, namun juga gerakan anti korupsi dan melemahkan sendi-sendi demokrasi. “Jika kondisi ini dibiarkan maka amanah reformasi dan konstitusi berada dalam kondisi amat berbahaya,” kata dia.

Pukat mendata lebih 340 dosen telah mengajukan petisi #UGMTolakRevisiUUKPK. Setidaknya ada 2 ribu dan 22 kampus yang memberikan dukungan terhadap petisi itu. Mereka sejalan melawan pelemahan KPK. 

Tiga pimpinan KPK, yakni Agus Rahardjo, Laode Muhammad Syarif, dan Saut Situmorang menyerahkan kembali pengelolaan KPK kepada Presiden Jokowi. Agus mengatakan, lembaga antirasuah ini ibarat dikepung dari pelbagai sisi.

Dia mengeluhkan pembahasan revisi UU KPK yang terkesan sembunyi-sembunyi dan dikebut oleh pemerintah dan DPR. Di sisi lain, KPK tak pernah dilibatkan bahkan menemui kesulitan ketika meminta draf resmi kepada Kementerian Hukum dan HAM.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan Presiden Joko Widodo harus melakukan tiga hal berikut jika peduli dan berkomitmen terhadap pemberantasan korupsi. “Kalau Presiden memiliki kesadaran dan komitmen terhadap pemberantasan korupsi, (seharusnya) meminta komisioner tidak mundur, mengajak diskusi, dan membatalkan pembahasan perubahan UU KPK,” kata Fickar kepada Tempo, Sabtu malam, 14 September 2019.

Apabila tiga hal itu tak dilakukan, kata dia, maka dapat diartikan Presiden Jokowi tak memiliki kepedulian dan komitmen terkait pemberantasan korupsi di Indonesia. “Jika tidak dilakukan berarti Presiden mempunyai sikap sebaliknya,” kata dia.

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menilai masih ada opsi bagi Presiden Joko Widodo untuk tidak meneruskan pembahasan revisi UU KPK. Meski presiden telah mengirimkan Surat Presiden, namun Jokowi masih memiliki dua cara untuk membatalkan pembahasan revisi tersebut

“Kalau sekarang kejadiannya presiden sudah mengeluarkan Surpres, ada dua hal yang masih bisa dilakukan untuk mengatasi kebuntuan RUU KPK ini,” kata peneliti PSHK, Agil Oktaryal di Jakarta, Ahad, 15 September 2019.

Langkah pertama, kata Agil, Jokowi dapat menarik kembali surat yang sudah dikirim. “Berdasarkan azas contrarius actus itu masih bisa dilakukan, presiden tarik suratnya dan UU itu tidak akan bisa dibahas,” kata dia.

Menurut Agil, cara kedua yang bisa dilakukan presiden ialah tidak mengutus dua menterinya untuk mengikuti pembahasan di DPR. Dalam Surpres, Jokowi menunjuk Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin untuk melakukan pembahasan revisi UU KPK dengan DPR.

Agil mengatakan dua langkah ini masih bisa dilakukan Jokowi untuk menghentikan pembahasan revisi UU KPK yang kabarnya akan disahkan pada Selasa pekan ini.n”Ini masih bisa dilakukan dalam detik terakhir ini menjelang hari Selasa, kalau presiden benar-benar mendengar aspirasi rakyat terkait UU KPK.”

Menurut Agil, sejak awal pihaknya menolak revisi ini. Ia mengatakan pembentukan Rancangan UU KPK cacat formal karena tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas DPR. Selain itu, ia menganggap sejumlah perubahan dalam RUU KPK juga melemahkan komisi antirasuah ini.

Pakar hukum tata Negara, Mahfud MD berpendapat kini waktunya Presiden Jokowi mengajak bicara awak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai revisi UU KPK. Selama ini pemimpin KPK hanya menunggu sikap Presiden. “Saya kira Presiden cukup bijaksana untuk mengundang mereka,” kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu, di Cafe d’Tambir, Kota Yogyakarta, Ahad, 15 September 2019.

Mahfud mengungkapkan bahwa masyarakat ingin KPK menjadi lebih kuat. Presiden juga mengatakan ingin menguatkan KPK. Bahkan, pihak yang menentang perubahan UU KPK juga ingin KPK kuat. “Namanya negara demokrasi, dipertemukan saja yaitu melalui proses pembahasan yang terbuka.”

Eks Pimpinan KPK Jilid I dan II menyatakan harapannya kepada pemerintah dan DPR RI agar dapat menunda pengesahan Revisi UU KPK. “Kami berharap harus ada pembahasan. Dari KPK tentunya akan memberi bahasan dan KPK juga tidak serta merta menolak mentah-mentah, tidak,” kata mantan Ketua KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean di Gedung Merah Putih, Jakarta pada Senin 16 September 2019.

Pernyataan ini disampaikannya sesaat setelah melakukan pertemuan internal antara jajaran eks pimpinan KPK Jilid I dan II dengan pimpinan KPK pada Senin pagi. Dari pertemuan itu, semua sepakat bahwa perlu ada pembahasan secara cermat dan objektif dalam rangka memperkuat KPK memberantas korupsi.

Selain Tumpak, Ketua KPK Jilid I periode 2003-2007, Taufiequrachman Ruki juga menyampaikan harapannya agar Pemerintah, DPR RI khususnya Panitia Kerja dari Komisi III dapat mendengar bahwa para senior KPK berharap pembahasan itu jangan terburu-buru. “Diperbanyak menyerap aspirasi, pendapat, karena sejak tahun2017 dengan berbagai alasan berbagai pihak, belum pernah dilakukan kebijakan yang intens mengenai apa saja yg akan diubah dan bagaimana mengubahnya,” katanya.

Taufieq menyayangkan penggarapan RUU KPK di DPR sangat tertutup dan tergesa-gesa. “Jangan sampai kita menyesali akibat ketergesa-gesaan.”

Banyak pihak menyayangkan proses legislasi revisi UU KPK yang dianggap sebagai upaya pelemahan KPK. Ketua KPK Agus Rahardjo yang telah mengembalikan mandate kepada Presiden Jokowi mengatakan ada sembilan poin perubahan UU KPK yang berpotensi melumpuhkan kerja pemberantasan korupsi: 1. Independensi KPK terancam; 2. Penyadapan dipersulit dan dibatasi; 3. Pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR; 4. Sumber Penyelidik dan Penyidik dibatasi; 5. Penuntutan Perkara Korupsi Harus Koordinasi dengan Kejaksaan Agung.

Selain itu, poin lainnya adalah; 6. Perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria; 7. Kewenangan Pengambilalihan perkara di Penuntutan dipangkas; 8. Kewenangan-kewenangan strategis pada proses Penuntutan dihilangkan; 9. Kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.

Sumber: Tempo.co

Editor: Boy Edlon

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Berita Lainnya