oleh

Seminar Paiketan Krama Bali & Warga Tionghoa Bali, Ungkap Kisah Raja Jaya Pangus dan Putri Tiongkok

Denpasar, LNN – Dikisahkan pada 1181 Masehi, Raja Sri Jaya Pangus yang berkuasa di kerajaan Panarajon, bukit Penulisan, Kintamani, Bangli mempersunting Kang Cing We, seorang putri cantik anak saudagar kaya dari Tiongkok yang sedang singgah di Bali.

Terkait hal ini, Paiketan Krama Bali, Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Provinsi Bali, dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Bali akan menggelar seminar untuk mencari benang merah cerita Jaya Pangus dan putri Tiongkok, Kang Cing We.

Menurut Prof. I Nengah Duija selaku ketua panitia seminar mengatakan, seminar digelar untuk mengungkap kisah tersebut apakah merupakan fakta sejarah, migrasi kebudayaan atau lainnya.

“Masyarakat Bali sebenarnya sudah lumrah tentang hubungan Tionghoa dengan Bali. Yang dipersoalkan adalah cerita perkawinan Kang Cing We dengan Raja Balingkang Sri Aji Jaya Pangus,” kata Duija, Kamis (28/11/2019) di Denpasar.

Guru besar IHDN ini menerangkan, seminar sangat penting dikarenakan sampai saat ini masih terjadi simpang siur, termasuk tentang pusat pemerintahan Sri Aji Jayapangus yang disebutkan di Dalem Balingkang.

“Padahal menurut fakta sejarah, dalam prasasti disebutkan bahwa pusat kerajaan di Sukawana daerah sekitar Penulisan, Kintamani,” sebutnya.

Dalam seminar yang akan berlangsung, 3-4 Desember 2019 di Politeknik International Bali, Kediri, Tabanan, ini akan disampaikan pemaparan dari berbagai sudut pandang baik dari segi budaya, kajian efigrafi, seni dan agama maupun hal yang terkait hubungan antara Tionghoa dengan Bali.

“Termasuk juga akan dibahas tentang Jaya Pangus dan Kang Cing We yang menjadi ikon kesenian barong landung di Bali,” bebernya.

Di tempat yang sama Ketua PMTSI Bali, Hendra A Wasita mengatakan, dalam seminar akan menghadirkan sekitar 20 orang pembicara, termasuk dua orang narasumber yang langsung dihadirkan dari Tiongkok.

“Kami ingin bersatu padu dengan pihak-pihak yang ada di Bali. Karena di Bali ada filsafat menyama braya dan warga Tionghoa disebut nyama kelihan,” terangnya. (AW)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Berita Lainnya