oleh

Pulang ke Indonesia, Peserta Magang Mengaku Jadi Buruh Bangunan di Taiwan

Denpasar, Lintasnusanews.com – Seorang peserta magang Taiwan asal Flores Timur, Paulus Aprianus Sole mengaku semoat menjadi buruh bangunan karena terdesak kebutuhan. Sole memilih pulang ke Indonesia karena merasa tidak mendapatkan manfaat kuliah sambil magang.

“Alasan mendasar saya pulang ke Indonesia karena saya tidak mendapatkan apa-apa dari program ini. Pertama program ini menunjukan bahwa under graduate. Saya kuliah S1 di Taiwan dengan pembelajaran hanya memfokuskan bahasa dan kejurusan itu hanya satu hari. Kalau hanya sekedar belajar bahasa, saya bisa kursus bahasa Mandari di Indonesia dengan lebih murah. Sedangkan di Taiwan saya kuliah dengan sekitar Rp 50 juta,” ungkap Sole saat tiba di Denpasar Bali, Senin (28/09/2020) malam.

Sole menjelaskan, sebelum berangkat dirinya membayangkan kuliah sambil magang di Taiwan sesuai jurusan yang akan dipelajari. Namun setelah tiba, mereka baru dicarikan perusahaan untuk magang pada bulan Januari 2019.

“Memang ketika kita berangkat dari sini sudah dibreaffing bahwa kita akan ada di Kampus Wufeng University. Kita ada tiga jurusan yaitu Hospitality, Digital Media dan Technic Security Enginering. Kita didaftarkan oleh pihak LPK Dharma dan STIKOM Bali. Kalau bulan Januari sampai pertengan February kampus yang mencarikan pekerjaan. Tapi setelah 18 February itu lepas kontrak dari CISDA karena pandemi (Covid19),” tuturnya.

Sole mengaku terpaksa mencari pekerjaan sendiri setelah selesai magang 1,5 bulan di Perusahaan CISDA. Karena biaya hidup dan biaya kuliah terbilang mahal sehingga terpaksa bekerja tanpa sepengetahun kampus.

“Tapi sejak 18 Mei itu murni kita mencari kerja sendiri. Tidak ada peran dari LPK, STIKOM ataupun Kampus untuk mencarikan pekerjaan untuk kita. Kasarnya kita sebagai kuli yang tidak dketahui oleh kampus karena kampus melarang keras. Karena pekerjaan itu melanggar peraturan mahasiswa asing kerja,” tandasnya.

Baca juga: Kasus Magang, Kuasa Hukum Minta Bupati Flores Timur Bertanggungjawab Pidana dan Moral

Paulus Aprianus Sole, salah satu peserta magang Taiwan saat bekerja sebagai buruh bangunan di Taiwan. Foto: Lintasnusanews.com/Istimewa
Paulus Aprianus Sole, saat bekerja sebagai buruh bangunan di Taiwan. Foto: Lintasnusanews.com/Istimewa

Peserta Magang Jadi Buruh Bangunan Tanpa Asuransi

Sole mengatakan, terpaksa bekerja sebagai buruh bangunan proyek dan buruh semenisasi jalan yang didapatnya dari tawaran calo di Taiwan. Namun selama bekerja tidak memiliki asuransi, sehingga bila terjadi kecelakaan kerja maka tidak ada yang bertanggungjawab.

“Jadi ada mobil molen campur adukan semen itu, kita cor jalan semenisasi. Ada juga tukang potong rumput di pinggir got, kita yang bersihkan rumput yang jatuh ke got. Trus kita juga kerja angkat papan cor dan besi itu laki dan perempuan. Perempuan ada dua orang dari Flores Timur. Saya juga kerja sebagai pembantu tukang di bangunan lantai 3 begitu. Itu tidak ada safety dan asuransinya,” tutur Sole sembari menunjukan fotonya saat bekerja.

Sole menjelaskan, kenyataan di kampus tidak sesuai janji oleh LPK Dharma Bali sebelum berangkat ke Taiwan yakni masuk kelas khusus internasional. Kenyataannya menurut Sole, mereka berbaur dengan kelas reguler mahasiswa Taiwan sehingga proses pembelajaran menggunakan bahasa Mandarin dan penulisan huruf Kanji.

“Ketika masuk ke jurusan, kami pun tidak bisa berbuat apa-apa. Kami hanya berdiam diri, dosen yang mengajar kami pun hanya full Mandarin. Tulis resepnya pun bahasa China atau Kanji, pelafalan nya pun bahasa China dan kami tidak mengerti. Kami memang dapat nilai dari kampus, tapi nilai itu entah darimana kami pun tidak tahu,” tuturnya.

Peserta Magang Mengaku Perusahaan Magang Tidak Sesuai Jurusan

Menurut Sole, perusahaan tempat magang yang diberikan kampus tidak sesuai jurusan sehingga tidak ada hal baru yang dipelajari. Sole bahkan mencuci piring di salah satu hotel tempat magang.

“Memang benar kami magang, tapi magang tidak sesuai dengan jurusan kami. Misalkan saya perhotelan, memang saya pernah bekerja di hotel tapi saya bekerja di belakang bagian cuci piring. Cuci piring semua orang tau. Menurut saya, kami magang itu untuk bertahan hidup di Taiwan dan untuk mendapatkan uang membayar uang sekolah dan bertahan hidup,” urai Sole.

Sole menuturkan, saat di Bali ia telah membayar sejumlah uang dengan kuitansi pelunasan biaya kuliah di Taiwan. Namun kenyataan selama kuliah tiga semenster, ia tetap membayar uang tiap semester sehingga terpaksa mencari kerjaan sebagai buruh bangunan.

“Di kuitansi ini tertulis jelas, untuk pelunasan biaya kuliah di Taiwan, tapi kami harus membayar tiap semesternya.

Sole menambahkan, sebelum berangkat mereka dijanjikan kuliah sambil magang dengan gaji 12 Rp juta per bulan. Sehingga setelah setahun di Bali, ia pun memutuskan berangkat ketika dinyatakan lulus.

“Kita diberangkatkan dari larantuka ke Bali itu 09 September 2018. Ketika tiba di Bali kita dijanjikan terus mulai Desember, February, Maret, Mei terus sampai akhrinya bulang Oktober 2019 hanya 2 dari angkatan 2018 dan 5 dari angkatan baru 2019 yang berangkat ke Taiwan. Breaffing waktu itu Rp 12 juta per bulan dengan biaya hidup Rp 4 juta, 4 juta untuk bisa kirim ke orangtua dan Rp 4 juta untuk bisa bayar utang,” pungkasnya.

LPK Dharma Mengaku Tidak Tahu Peserta Magang Jadi Buruh Bangunan

Sementara itu, Direktur LPK Dede Heryadi saat dikonfirmasi mengatakan, peserta magang sesuai dengan jurusan yang dipelajari di Kampus Wufeng University. Hal ini berdasarkan kerjasama STIKOM Bali dengan Wufeng University, sehingga bila tidak sesuai kenyataan pihaknya akan mengecek lagi.

“Diberikan kesempatan magang maksimal 20 jam per minggu, sebagai tambahan untuk mereka bisa nambah uang makan dan uang kuliah. Kerjasama antara universitas itu bukan LPK Dharma tapi STIKOM. Mereka yang kuliah di sana, ketua jurusan di sana yang mencarikan perusahaan itu.

“Masa jadi buruh bangunan? kurangtau juga ya. Setahu saya sih mereka itu kan seharusnya job trainingnya sesuai dengan jurusan yang dia tekuni. Kan ada kaitannya kalo pembuatan masker,” ujarnya.

Sementara ditanya terkait kuitansi pelunasan biaya kuliah di Taiwan Dede menjelaskan, itu bukan untuk biaya keseluruhan biaya hingga tamat. Pihak LPK Dharma juga sempat mengirim uang ke 4 orang anak di Taiwan sekitar Rp 40 juta untuk bantu tambahan biaya kuliah.

“Saya perlu lihat dulu. Maksudnya pelunasan itu bukan lunas sampai tamat dan tidak bayar lagi. Pengertiannya bukan seperti itu barangkali. Tapi mungkin perlu dicrosscek lagi ya. Kan 21 juta itu tidak mencukupi, makanya kita berikan pinjaman lagi tapi itupun pinjaman kita yang mencicil. Ada beberapa anak yang pendapatannya bagus, mereka mencicil. Tapi bagi mereka yang tidak mampu, saya rasa kita yang nyicil itu, Termasuk kita kemarin kirim empat puluh sekian juta kepada anak-anak yang di Taiwan itu karena uang untuk bayar kuliahnya tidak bisa karena Covid itu. Kalau gak salah 4 orang termasuk Sole yang pulang itu. Sole saya sudah cek ke kampus katanya alasannya keluarga,” urainya. (tim/boy)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Berita Lainnya